SEPENGGAL CERITA SI KATAK
DALAM TEMPURUNG
“Sukses bukan milik orang pintar, bukan milik orang cerdas, pun
pula bukan milik orang kaya. Tapi, milik mereka yang mau berusaha lebih keras
dari siapapun. Tak peduli takdir telah menusuk dan mencincangnya berapa
kalipun, tak peduli seberapa banyak ia
terjatuh. Asal setelah jatuh ia terbangun, asal setelah hancur ia menata hati
kembali. Selalu ada pilihan dalam hidup ini, tidak ada keterpaksaan.”
Aku bukanlah anak dari pengusaha kaya, dan bahkan dalam mimpipun tak
berani mengaku anak seorang presiden. Aku hanyalah sesengguk nafas yang Allah
biarkan terlahir dari seorang wanita ummiy, tak bisa baca dan tulis yang masih
memiliki kenangan masa kecil bersama Indonesia dan penjajahnya dahulu. Bukan
hal yang asing bagi wanita itu untuk tidak makan asal anak-anaknya bisa menelan
nasi jagung yang meski tak cukup membuat perut siapapun kenyang dengannya. Seorang
wanita yang tanpa keluhan mengandung tumor tak kurang dari 6 tahun dengan bobot
12 kg.
Seorang wanita yang tetap bekerja di sawah orang meski hujan deras,
meski telunjuknya terus saja mengalirkan darah, ia tak peduli. Asal ia dapat
mengirimi anak perempuannya uang yang cukup di Pondok Pesantren Nurul Qarnain
untuk menyerap ilmu agama agar anaknya tak jadi orang sombong yang berilmu
tanpa agama.
Madrasah Aliyah Nurul Qarnain bukanlah lembaga pendidikan yang aku
kehendaki. Tapi takdir mengirimku ke situ. Tahun pertama aku lalui dengan penuh
syukur atas keajaiban-Nya. Mengapa tidak ? pasalnya, saat aku menginjakkan kaki
di bumi NQ (Nurul Qarnain), di situ aku harus menderita sakit, bahkan 4 dokter
semuanya beda diagnosanya. Kakiku bengkak, muncul bintik-bintik merah di
sekujur kaki. Entah aku harus percaya
atau tidak pada hal-hal mistis, konon hal tersebut mantan tunanganku yang
melakukannya. Ya, selama 10 bulan di usiaku yang baru menginjak 14 tahun, aku
sudah ditunangkan. Aku rasa memang begitulah penduduk desa yang masih memegang
teguh adatnya, bahwa lamaran pertama harus diterima sekalipun aku tak
menginginkannya. Aku tak punya kuasa. Sempat waktu itu aku berfikir, haruskah
aku bangga menjadi orang Indonesia ? dimana Indonesia yang mengaku kaya akan
budayanya telah menyebabkan aku terjatuh dalam pertunangan yang aku benci ini.
Waktu terus melesat tanpa peduli siapapun yang memintanya untuk
kembali, seiring itu pula aku mulai merasa bahwa NQ memang tempat terbaik
untukku. Perasaan ini aku alami di tahun ketigaku.
Seusai UN. Semua anak sibuk dengan rencananya hendak ke mana mereka
melanjutkan hidup. Ada yang bangga bercerita tentang universitas yang akan diambilnya.
Ada pula yang berpura bahagia dengan berkata ia akan menikah setelah lulus.
Atau bahkan ada yang ketakutan tidak lulus UN. Sedang aku ?......saat itu aku hanya
menangis dalam sujud, membasahi sajadah hanya karena takut. Takut harus kemana
ia. Seorang gadis berusia 17 tahun yang masih mengaku dirinya anak kecil, takut
mendengar perkataan ayahnya.“Cukup sampai di sini ayahmu ini membayar
kewajibannya sebagai orang tua untuk melihat anaknya sekolah, setelah ini kamu
harus keluar. Ada tawaran pekerjaan untukmu. Jadi, lebih baik kamu di rumah
sambil bekerja membantu keluarga”.
Kala itu aku hanya menunduk tak dapat berkata. Memang apa yag bisa
aku katakan ? “ Aku ingin kuliah”, kata-kata itu tak kuasa aku ucapkan dengan
kondisi keluargaku yang seperti itu. Namun waktu itu aku masih melindungi
keinginaku untuk menyentuh bangku kuliah dari kebinasaan, karena aku percaya
dimana ada keinginan disitulah jalan terbentang. Tinggal menunggu dan bersabar
saja.
Berfikir untuk terus bertahan di NQ. Yang aku hadapi hanya perasaan
takut, takut dan takut. Entah ketakutan macam apa, hanya saja aku takut
berpisah dengan NQ yang telah banyak merubahku, yang telah banyak memberiku
pengetahuan tentang agamaku, yang mengizinkanku bertemu dengan orang-orang yang
menakjubkan, yang mengajarkanku arti belajar mahabbah ilallah.
“Kamu mau melanjutkan ke mana, lis ?”
Entah kenapa pertanyaan seperti itu selalu saja berhasil menjelma bak
anak panah yang meluncur tepat di ulu hatiku.
“Aku ingin kuliah”.
Hanya kata-kata itu yang terus ku lantunkan. Entah kuliah di mana.
Padahal fakta berkata, pendaftaran bidikmisi di UNEJ sudah pupus. Hanya saja
hatiku terus berkata demikian. Aku pasti bisa kuliah.
“Setelah lulus, ibumu ini tak bisa membantumu lagi. Kamu di rumah
saja, mencari pekerjaan atau menikah saja. Setidaknya itu akan lebih baik
untukmu”.
Lagi-lagi pernyataan seperti itu yang aku dengar. kenapa ?
Aku bukanlah orang yang pintar terlebih mengaku dirinya cerdas.
Tapi setidaknya dengan semangat yang aku punya, aku masih bisa mengumandangkan
harapan. Tapi apakah semangat itu harus hancur sekarang ?, berulang kali aku menata
hati bahwa ini bukanlah akhir dari segalanya. Tidak kuliah bukan berarti tidak
bisa belajar bukan ?, tidak di NQ bukan
berarti duniaku berakhir, bukan ? Namun tetap saja......
“Saya bisa membantumu untuk kuliah lewat jalan beasiswa......”
Akhirnya, setelah lama aku bergulat dalam kegelapan keputus asaan.
Kata-kata itu hadir dari seorang guru yang benar-benar membentuk harapan baru
bagi muridnya ini. Hingga bisa dengan berani berkata pada orang tuanya “ Apa
saya boleh kuliah jika ada beasiswa ?”
“Boleh”.
Satu kata yang membuatku
bangkit kembali. Setidaknya kini aku percaya bahwa Allah itu tidak buta, tidak
tuli. Masih tetap mendengarkan munajah hambanya. Inilah jalan yang Allah
tunjukkan pada hambaNya dalam penantiannya.
Sejak saat itu, aku bersama dua temanku yang lain terus berlatih dan
belajar demi bekal kesiapan ujian PBSB tanggal 04 Mei 2011.
Senin sore,02 mei 2011.
Sehari menjelang keberangkatan kami menuju Surabaya. Perasaanku terpukul sebab
perkataan seorang yang kufikir akan menjadi semangatku. Seorang yang mengaku
benalu yang telah kering termakan zaman, yang memintaku untuk menyudahi semua....hufh
!
Keberangkatan yang harus
diiringi airmata. Keberangkatan yang sebelumnya harus menyaksikan seorang ayah
tertidur di ranjang tanpa daya karena sakitnya. Tapi aku bukanlah orang yang akan
mengedepankan perasan pada apa yang ingin aku raih. Setidaknya aku mencoba
untuk terlihat tegar dari luar, meski rapuh di dalam. Setidaknya aku masih
tetap berusaha tersenyum, meski tanpa ketulusan.
Keberangkatan yang sebelumnya telah berpamit pada segenap ahlul
bait dan berbekal do’a dari para laskar NQ. Bahkan ustadz Nawi memberi kami
amalan agar dimudahkan dalam ujian, yaitu berupa shalawat nariyah yang dibaca
sebanyak 4.444 kali serta basmalah 3.000 kali, dan itu sungguh penuh perjuangan
untuk mencapainnya, saat belajarpun mulut masih melantunkan shalawat itu.
Shalawat yang kusukai maknanya, mencerminkan keagunangan bahasa sastra yang
berisi puji-pujian, ketakjupan pada Nabi Muhammad karena risalah yang dibawanya
mengantarkan keridhaan dan izin Allah yang akan mengabulkan segala do’a dan
harapan hamba-Nya. Harapan untuk menimba ilmu di kota Surabaya sana.
Aku mencoba memahami maknanya. Shalawat yang hingga saat ini terus
kulantunkan ba’da lima waktu.
Ya Allah, berikanlah shalawat dan salam yang sempurna kepada Nabi
Muhammad, yang dengannya terlepas semua ikatan kesusahan dan dibebaskan semua
kesulitan. Dan dengannya pula terpenuhi semua kebutuhan, diraih segala
keinginan dan kematian yang baik, dan dengan wajahnya yang mulia tercurahkan
siraman kebahagiaan kepada orang yang bersedih. Semoga shalawat inipun
tercurahkan kepada kelurganya dan para sahabatnya sejumlah seluruh ilmu yang
Engkau miliki.
Berangkat dengan kereta kelas ekonomi, menginap di hotel meski tak
mewah, taxi sebagai alat transportasi, dan tugu pahlawan yang menyambut
kedatangan kami. Sungguh indah bukan ? segalanya itu baru pertama kalinya
bagiku. Si katak yang sebelumnya hanya berkutat dengan tempurungnya, kini mulai
membuka mata. Memulai pengembaraannya dari titik 04 mei 2011 ketika ujian PBSB
di asrama haji, Sukolilo. Inilah sebuah kado terindah yang ku harap menyambutku
di 06 Mei 2011, hari ulang tahunku.
25 Mei 2011 ba’da maghrib, kepala sekolah yang sekaligus ahlul bait
memanggilku. Aku membenakamkan diri
dalam sujud syukur sebab dauh beliau bahwa aku termasuk sebagai salah
satu penerima PBSB. Mimpi yang sangat indah, namun ini nyata. Seorang santri
yang ketakutan akan berhenti meraup ilmu di pesantren atau yang paling parah
adalah terjebak dalam pernikahan dini, kini mendapat beasiswa di Fakultas
Farmasi Universitas Airlangga. Sebuah kemenangan yang bukan hanya aku
merasakannya, terlebih pihak sekolah dan pesantren yang belum pernah mendapati
santrinya mendapat beasiswa itu. Bahkan tak sia-sia rasanya aku bernadzar puasa
Daud selama 3 bulan karenanya.
Namun kebahagiaan itu terlalu dini di kumandangkan, sekejab berita
itu merebak. Bahkan saat penerimaan
ijazah sekaligus tasyakkuran kelulusan, fotoku di pampang dalam banner tak
kurang dari 2 meter. Sungguh dahsyat berita itu merebak.
03 juli 2011 aku kembali menginjakkan kaki di tanah Surabaya. Kali
ini aku hanya ditemani seorang guru. Tujuanku adalah mengikuti tes masuk UNAIR
jalur PMDK/Mandiri sebagai salah satu syarat masuknya aku di Universitas
Airlangga. Kali inipun aku berangkat membawa airmata, bukan tanpa sebab.
Sekitar ba’da isya’ tertanggal 28 Juni
2011, ayahanda tercinta berpulang kerahmatullah.
Jatuhnya airmata bukan karena aku berstatus anak yatim, bukan
karena tak ada sesosok laki-laki itu yang bisa kupanggil ayah lagi, karena
sejatinya setiap yang bernyawa ini pasti mengalami yang namanya mati, tak
terkecuali aku dan engkau nanti. Tapi kantong airmata ini tertusuk karena
perkataan terakhirnya sesaat sebelum ia menjalani sakratul mautnya. Entah aku
harus percaya atau tidak, karena aku sendiri tak mendapati keluargaku
mengungkapnya padaku. Hanya saja aku mendengarnya dari salah seorang
tetanggaku.
Lebih sejak 2 bulan ayahku sakit keras dan selalu bersihkeras tak
mau di rawat di rumah sakit. Sampai saat itu juga aku masih bersenang hati
berada di NQ. 28 Juni 2011 ba’da maghrib, sudah banyak orang membanjiri
rumahku. Satu persatu nama disebutkan untuk berkumpul di dekatnya, anak-anaknya
dan istrinya. Namun hanya ada satu nama yang
tak disebutkan kala itu, yaitu Lisa. Kenapa hanya aku ?....”Dia bukan
anakku, biarkan dia pergi ke Surabaya. Jangan ganggu dia”.....kata-kata
itu...benarkah keluar dari seorang yang selama ini ku panggil ayah ?, bahkan
dia tak mengizinkan kakakku untuk menjemputku ke pesantren. Sampai setega
itukah ?....bukankah telah usai aku meminta restu dari kedua orang tuaku dulu
untuk mengembara mencari secuil demi secuil ilmu dari Surabaya ?
Sepupuku tiba di pesantren menjemputku.
“Bapak sudah kritis, ayo pulang sebentar. Kyai sudah mengizinkan ”
Tak ada jawaban dariku. Hanya saja airmata meluncur tanpa bisa
kukendalikan. Aku yang tak tahu menahu, yang kufikir ayah sakit keras, begitu
merasa aneh ketika banyak orang memenuhi rumah hingga berderet motor meluap ke
depan jalan rumah. Sampai di teras, nenekku segera memelukku “ Kamu sudah
terlambat, nak....lapangkan hatimu...!”
Apa ini ?......ada apa ?....
Dan ternyata, seongkok tulang yang hanya tinggal berlapis kulit,
yang sering kupanggil ayah telah menutup mata mengakhiri nafasnya. Tanpa
sedetikpun memberiku kesempatan untuk menyapanya walau sepatah kata. Hanya
lantunan surah Yasin yang ku bacakan di sampingnya berteman uraian airmata.
Memeluk tubuh yang sudah tak bernyawa itu sungguh menyakitkan. Apa aku ini anak
durhaka ?....anak durhaka ?....itukah kata yang pantas aku sanding ?,.....hufh
! Anak durhaka......karena seorang ayah sudah tak mengakui ankanya.
Dan hasil dari ujian tulis
PMDK I sungguh sangat mengecewakan. Entah kemana semangatku. Entah mengapa aku
tak merasa sedih sedikitpun ketika mendengar berita tidak diterimanya aku di
Universitas Airlangga. Mungkin kesedihan kehilangan sosok ayah jauh lebih
berpengaruh. Hanya saja guru dan kepala sekolah yang jauh lebih terpukul.
Bagaimana tidak, berita aku si anak MA pinggiran bisa masuk Universitas
Airlangga telah merebak entah sampai kemana. “Tak bisa dibayangkan bagaimana
malunya”, begitu pak Imam, kepala sekolahku mengungkap.
Aku sudah tak peduli. Aku sudah bosan berusaha. Aku hanya ingin
ketenangan batin saja dengan terus belajar ilmu Fiqh dari kitab kuning. Meski
aku tak pintar ilmu alat; nahwu, sharraf dan bahasa arab, setidaknya aku bisa
menalarnya. Semangatku sudah mencapai titik terendah. Mungkinkah ini keinginan
ayahku ?, tak menginginkan aku jauh dari keluarga. Hanya saja aku terlalu
bersemangat kala itu, apalagi pihak sekolah yang telah berjasa besar
mengantarkanku menuju mimpiku.
Aku merasakan setiap dawai kepedihan dalam
setiap hembusan nafasku. Detik berlalu menusuk anganku dan menghancurkan segala
mimpiku. Aku sungguh menyedihkan, bahkan orang paling menyedihkan di dunia ini
karena aku dibodohi dengan senyumku sendiri yang tak sedikitpun mengurai damai.
Kini aku sendiri terperangkap dalam bayang. Aku tak mungkin lagi memiliki dan
tak mungkin untukku menagih sesuatu yang tak bisa kumiliki. Mungkin pula saat
ini akupun tak bisa memeluk apa yang kudamba. Tak pernah bisa aku menyanjung
mimpi yang kini terasa tercekik, jikapun ada sesuap harapan itupun tak untuk
memuaskanku. Saat kesedihan masuk melalui celah-celah bahagia aku tak
mampu untuk berkutik. Aku tak bisa membohongi hati bahwa mimpi telah melumat
asa menjadi putus asa.
“Masih ada kesempatan sekali lagi untukmu, lis. Ada tes PMDK II.
Jika tes ini kamu tidak lulus, ya...mungkin masih bukan keberuntunganmu.” Ucap
pak Jamal yang selama ini memperjuangkan aku dan menyemangatiku.
“Tapi, pak...!”
“Coba saja dulu. “
Kali ini aku berangkat bukan dengan membawa semangatku. Hanya saja
aku membawa harapan dari guru. Terutama Pak Jamal, Pak Imam, Pak Yusron, Bu
Rini, dan semua staf guru yang selama ini begitu gigih membantuku. Mulai dari
belajar, bahkan hingga transportasi dan segenap administrasi ujian dan lain
sebagainya mereka yang menyelesaikannya. Karena aku sendiri tak mungkin
bersandar pada ibuku yang baru saja kehilangan suaminya di tambah dengan
kondisi keluarga yang memang pas-pasan.
Beribu harapan menyelimutiku. Menguatkan aku menuju semangat baru.
Sebuah bakti tulus terhadap sejuta kebaikan orang-orang sekitar yang
memperjuangkan aku dan pendidikanku. Sebuah kebangkitan si katak dalam
tempurung yang ingin berkata pada dunia
bahwa kesuksesan itu bukan milik orang pintar, bukan milik orang cerdas, pun
bukan milik orang kaya, tapi milik mereka yang mau berusaha lebih keras dari
siapapun. Tak peduli takdir telah menusuk dan mencincangnya berapa kalipun, tak
peduli seberapa banyak ia terjatuh. Asal
setelah jatuh ia terbangun, asal setelah hancur ia menata hati kembali. Asal
setelah menangis segera ia hapus airmatanya. Meski ia berkata itu tak mudah.
Meski ia berkata itu sulit. Setidaknya ia tetap selalu mencoba untuk bangkit
dan bersabar atas kegagalan, karena sejatinya sukses itu tidak tunggal tanpa
diikuti kegagalan.Selalu ada pilihan dalam hidup ini untuk membentuk jati diri
kita menjadi pribadi yang seperti apa. Aku hanya mencoba memahami sebelum
menjawab. Memilih berfikir dahulu sebelum berkata. Selalu mendengar sebelum mengapresiasi. Hingga akhirnya usaha
telah usai aku kerjakan. Maka tinggallah harapan, pengharapan, dan tawakkal
sajalah pada Sang Hyang Mahanya Maha, Sang
Pengatur Skenario hihupku. Karena setelah usaha, wilayah hasil adalah
wilayahnya Allah.
Membuka mata terhadap
kemungkinan yang terburuk itu tidaklah sepenuhnya salah, walau akhirnya berita
bahagia datang juga, setidaknya aku sudah siap sejak awal jika aku kalah dalam
kompetisi.
Setidaknya harapan itu membawa kebahagiaan pada akhirnya.
Aku
bersama kebahagiaan diizinkan mengecap bangku kuliah oleh Sang Maha Penentu
Takdir. Begitu besar nikmat-Nnya. Perjuangan yang sungguh berbuah manis. Jika
waktu itu aku sudah menyerah, apa mungkin sekarang aku berada di Surabaya, memungut
ilmu satu persatu di ranah Bumi Timur Jawa Dwipa, menjadi ksatria Airlangga,
bercerita pada kalian tentang sedikit kisah hidup yang terukir dalam
celah-celah hari yang pernah aku arungi.
Sedikit
perjuangan menuju kejayaan di masa depan. Jangan pernah ucapkan
selamat tinggal jika masih ingin mencoba. Saat kamu terjatuh, tersenyumlah.
Karena orang yang pernah jatuh adalah orang yang sedang berjalan menuju
keberhasilan. Hidup ini kita yang menjalani, lakukan apapun yang ingin kita
lakukan, tapi pastikan itu sebuah cerita yang kelak pantas tuk diceritakan.
Menjadi seulas kisah dalam sejarah perjuangan manusia yang pantas untuk di
kenang. .... Ini kisah
si katak dalam tempurung yang telah keluar menyaksikan dunia.
Dan
perjuangan takkan pernah usai selama kita membutuhkan oksigen untuk bernafas.
Dan selama kehidupan seorang yang mengaku hamba masih terus mengusahakan bakti
tulusnya pada Sang Kholik. Selama itu, aku masih akan terus berjuang di
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, menjadi ksatria sekaligus mahasantri
yang siap mengabdikan dirinya pada Sang Maha Majikan. Menjadi insan pejuang
bagi agama, negara dan dunia sebagai tunas yang memulai perjalannya . InsyaAllah.
Kuatkan imam ketaqwaan
Ayo rebut kembali kejayaan
Semoga Allah merestui jalan kita
Pupuskan segala godaan
Kobarkan semangat juang kita
Pastikan dirimu selalu ada di jalanNya
Semua ‘kan berarti di mata Ilahi
Pasti kan terbalas segala pengorbaan
Bangunlah, wahai pemuda pemudi CSS MoRA
Ingat masa depan umat ada di pundakmu
Bukalah mata hatimu, padanglah jauh ke depan
Di sana tengah menanti kebahagiaan
Surabaya, Senin,
30 Januari 2012, 23:30
مخلصة